Monday, April 4, 2016

Fiqih Puasa (Prof. Yusuf Qardhawi)


PUASA DAN HIKMAHNYA

Pembagian Ibadah dalam Islam

Islam menjadikan penghambaan (ibadah) kepada Allah sebagai kewajiban pertama yang dituntut dari seorang muslim. Islam membagi ibadah menjadi beberapa bagian: Pertama, ibadah oleh seorang muslim dan membutuhkan aktivitas fisik (ibadah jasadiyah), misalnya shalat dan puasa. Kedua,Ibadah dengan mengeluarkan sebagian hartanya (ibadah maliyah), misalnya zakat dan sedekah. Ketiga, ibadah yang memerlukan harta dan kekuatan fisik, misalnya haji dan umrah. Keempat, ibadah yang tampak bentuk pelaksanaannya, misalnya shalat, zakat, dan haji. Kelima, ibadah dalam bentuk pengendalian dan penahanan diri, misalnya puasa.



 Makna Puasa Menurut Syara’

Makna puasa secara bahasa adalah menahan dan mencegah. Sedangkan menurut syariat islam adalah menahan dan mencegah diri secara sadar dari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan hal-hal semisalnya, selama sehari penuh. Yakni dari kemunculan fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat memenuhi perintah dan taqarub kepada Allah SWT.

Ada 2 hal yang dibolehkan selama malam-malam bulan Ramadhan, yakni hubungan badan lelaki dan perempuan (suami-istri), kemudian dibebaskan untuk makan dan minum sepanjang malam hingga terbit fajar, kemudian Allah memerintahkan untuk menyempurnakan puasa hingga malam, yaitu terbenamnya matahari (Al Baqarah:187).

Hikmah Puasa

Dalam ibadah puasa terdapat sejumlah hikmah dan maslahat diantaranya adalah:

1. Tazkiyah an-nafs (pembersih jiwa)

Dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya kemudian melatih diri untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah. Meskipun ia harus meninggalkan apa yang ia senangi dan membebaskan diri dari hal-hal yang melekat padanya.

2. Puasa mengangkat aspek kejiwaan mengungguli aspek materi pada manusia

Harus diingat bahwa manusia tercipta terdiri adri 2 unsur yakni tanah dan ruh. Unsur tanah menyeret manusia untuk kebawah dan saat ia tak mampu mengendalikannya maka ia akan lebih rendah dari binatang. Sedangkan unsur ruh yang ditiupkan ilahi mengangkatnya ke atas, saat unsur ini dominan maka bukan tak mungkin ia semulia malaikat Allah. Dan dengan puasa ini biasanya aspek-aspek ruh dominan terhadap aspek-aspek tanah.

3. Puasa menjadi tarbiah bagi iradah, jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran, dan pemberontakan terhadap hal-hal yang mentradisi

4. Puasa berpengaruh mematahkan gelora syahwat

Nafsu seksual adalah senjata setan yang paling ampuh untuk menundukkan manusia. Sehingga sebagian orang menyimpulkan bahwa ia adalah penggerak perilaku manusia. Puasa dapat mempengaruhi dan mematahkan gelora syahwat ini dan mengangkat tinggi-tinggi nalurinya, khususnya saat terus-menerus melakukan puasa karena mengharap pahala Allah SWT.

5. Puasa menajamkan perasaan terhadap nikmat Allah

Akrabnya nikmat bisa membuat orang kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui kadar kenikmatan, kecuali ketika kenikamatan itu hilang daripadanya. Misalkan seorang yang sehari-harinya makn dan minum terkadang lupa untuk sekedar mengucap hamdalah, namun bedakan dengan mereka yang selama seharian penuh tak menemukan seteguk airpun untuk diminum, pada saat berbuka ada suatu dorongan yang ringan untuk berucap Alhamdulillah, sebuah ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah ia dapatkan.

6. Puasa menanamkan dalam diri orang mampu agar berempati terhadap derita fakir miskin

Puasa memaksa orang untuk lapar meskipun sebenarnya ia bisa saja kenyang agar tertanam dalam diri orang tersebut (mampu) untuk merasakan dan berempati terhadap derita orang-orang fakir miskin. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qayim “Ia dapat mengingatkan mereka akan kondisi laparnya orang-orang miskin.”

7. Puasa mempersiapkan orang untuk naik tingkat ke derajat taqwa

Ramadhan dapat dikatakan sebagai madrasah mutamayizah (sekolah istimewa) yang dibuka oleh Islam setiap tahun untuk proses pendidikan praktis menanamkan nilai-nilai yang agung dan hakikat yang tinggi. Barangsiapa menjalin hubungan baik dengan Tuhannya, mengerjakan puasa, mengerjakan qiyamullail sesuai syariat maka ia akan berhasil menempuh masa-masa ujian ini dan mendapatkan keuntungan yang besar dan penuh berkah.


PUASA RAMADHAN DAN PENETAPANNYA


Macam-macam Puasa

Puasa ada yang bersifat wajib, sunnah, haram, bahkan makruh. Puasa wajib dibagi 3: Pertama, fardhu’ain, yaitu puasa yang diwajibkan Allah pada waktu tertentu misal puasa Ramadhan. Kedua, fardhukarena sebab tertentu yang menjadi hak Allah, yaitu puasa kafarat (tebusan). Ketiga, puasa wajib yang diwajibkan untuk dirinya sendiri, yaitu puasa nazar.

Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan fardhu’ain bagi setiap muslim yang mukallaf tanpa kecuali baik pada masa lalu maupun sekarang. Puasa Ramadhan memiliki kewajiban yang mengikat orang awam maupun khusus tanpa memerlukan kajian dan dalil lagi. Sehingga ulama menyepakati untuk menganggap kafir dan murtad orang yang mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, meragukan atau merendahkan tingkat wajibnya.

Tidak ada toleransi tentang ini selain bagi mereka yang baru masuk islam sehingga belum siap memahami pokok-pokok kewajibannya. Ia diberi kesempatan terlebih dahulu untuk mendalami agama, mempelajari apa yang belum diketahui.

Kapan Diwajibkan?

Kaum muslim pasca hijrah telah menjadi suatu jamaah yang padu dan khas yang diseru dengan seruan wahai orang-orang yang beriman. Karena itulah kepada mereka disyariatkan beberapa kewajiban, digariskan beberapa ketentuan, dan dijelaskanlah hukum-hukum, dan diantaranya adalah tentang puasa. Perintah ini turun pada tahun kedua hijriah, ketika telah tertanam mentalitas tauhid, shalat, dan perintah-perintah Al Quran dalam jiwa maka mereka diperintahkan untuk berpuasa secara bertahap.

Tahapan penetapan Hukum Puasa

Puasa ramadhan disyariatkan dalam dua tahapan:

Tahapan pertama adalah tahapan pilihan, yakni seorang muslim yang mukalaf lagi mampu berpuasa, diberi hak memilih untuk berpuasa (yang utama) atau berbuka tetapi membayar fidyah (memberi makan orang miskin) hal ini terdapat dalam QS. Al Baqarah: 183-184.

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Tahapan kedua adalah tahapan pewajiban, yakni mulai diwajibkannya puasa Ramadhan dan penghapusan toleransi pada ayat sebelumnya. Perihal ini terlihat dari QS. Al Baqarah: 185

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Allah mewajibkan puasa atas orang yang sehat dan menetap dan memberikan dispensasi bagi mereka yang sakit dan musafir. Inilah sistem yang arif yang diambil islam dalam aturan syariatnya dan dalam menetapkan syariat ditegakkan di atas pemudahan bukan penyulitan.

Menetapkan Masuknya Bulan

Menetapkan masuknya suatu bulan adalah berdasarkan munculnya hilal (bulan sabit) di ufuk. Hilal adalah pertanda fisik yang menunjukkan masuknya bulan. Tenteng hal ini terdapat dalam QS. Al Baqarah: 189

189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

Rasulullah sendiri menetapkan cara alami yang memudahkan umat dan semua umat manusia pasti bisa melakukannya, tidak rancu, dan tidak pula menyulitkan mereka. Cara itu adalah ru’yah (meliahat) dengan mata kepala.

Rasul bersabda diriwayatkan oleh Abu Hurairah: Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika tidak tampak oleh kalian maka sempurnakanlah sya’ban hingga tiga puluh hari. Adapu masalah jumlah bilangan hari lamanya berpuasa, hadist sahih menyebutkan bahwa dalam satu bulan terdapat dua puluh sembilan atau tiga puluh hari.

Ada 3 cara untuk menetapkan Ramadhan:

1. Ru’yah hilal

Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa ru’yah berarti melihat hilal secara langsung. Adapun mengenai jumlah orang yang disyaratkan melihatnya dikembalikan ke pandapat imam atau hakim,tanpa menentukan jumlah tertentu. Demikian menurut pendapat yang sahih.

Adalah kewajiban bagi kaum muslimin untuk berusaha melihat hilal pada hari ke dua puluh sembilan bulan sya’ban ketika matahari tenggelam. Namun kewajiban ini lebih bersifat wajib kifayah.

2. Menyempurnakan sya’ban 30 hari

Menyempurnakan bilangan Sya’ban 30 hari, baik saat cuaca cerah ataupun berawan. Bilamoarang-orang berusaha melihat hilal pada pada malam Sya’ban namun tak ada yang melihatnya, maka bulan Sya’ban disempurnakan 30 hari. Hanya saja harus jelas permulaan bulan Sya’ban sehingga dapat diketahui malam ketiga puluh untuk mencapai hilal.

3. Memperkirakan hilal

Cara memperkirakan hilal dilakukan apabila cuaca buruk, terhalang awan, atau yang lainnya. Dari hadist yang sahih riwayat Bukhari jika awan menghalangi kalian, maka perkirakanlah ia. Ada yang berpendapat kata perkirakanlah ia berarti menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, namun ada pula yang berpendapat untuk menggunakan ilmu falak dan hisab

Hal-hal yang Perlu Disepakati

Pertama, berkaitan dengan penetapan awal masuknya bulan terdapat keluasan dan keluwesan, dengan merujuk pada nash-nash syariat dan hukum-hukumnya. Perbedaan pendapat adalah rahmat bagi umat. Kedua, terjadinya kekeliruan karenanya adalah hal yang diampuni. Seandainya seseorang mengaku telah melihat hilal yang menyebabkan orang berpuasa satu hari di bulan Sya’ban dan berbuka satu hari di bulan Ramadhan, maka Allah sangat mungkin mengampuninmya. Allah telah mengajarkan mereka untuk berkata: Ya Tuhan kami janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru.

Ketiga, bahwa usaha untuk mewujudkan kesatuan kaum muslimin dalam puasa dan berbuka, juga dalam syi’ar dan syariat adalah hal yang selalu dituntut baik dimulai dari skala sekecil apapun itu. Karenanya apabila satu elemen pemerintah yang secara syar’i diserahi tugas untuk menetapkan hilal dalam suatu negara maka penduduk di negara itu harus patuh dan tunduk, karena hal ini merupakan ketaatan dalam hal ma’ruf meskipun mungkin berbeda dari negara lain. Keputusan ini yang pada akhirnya mengatakan bahwa setiap negara memiliki ru’yahnya masing-masing. Sabda Rasul: Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, dan buka kalian adalah hari kalian berbuka.

SIAPA YANG WAJIB BERPUASA RAMADHAN?


Puasa Ramadhan sudah barang tentu diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, sehat, menetap, serta tidak ada halangan syar’i padanya (misal: haid atau nifas pada wanita). Puasa Ramadhan tidak ada kewajiban pada mereka yang belum memeluk islam. Serta tidak dituntut pula atas mereka yang belum baligh. Masa baligh ini bagi laki-laki hingga ia telah ‘mimpi jimak’ sedang pada perempuan adalah masa datang haid pertama. Jika ditakar dengan umur maka secara umum mereka dapat dikatakan baligh ketika telah sampai usia 15 tahun.

Namun sebagai pembiasaan sebaiknya anak-anak sudah dilatih dari usia tujuh tahun sama halnya seperti shalat. Sabda Rasul: Perintahkan anak kalian mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karenanya ketika berusia sepuluh tahun.

Hadist di atas membagi ihwal belajar menjadi 2 tahapan. Tahapan perintah, pengajaran, dan anjuran. Tahapan kedua adalah pukulan, pelatihan, dan ancaman. Pemukulan tidak dilakukan kecuali setelah anak diberi kesempatan tiga tahun untuk diajak, dimotivasi, dan diberi harapan balasan. Setelah itu adalah tahapan penugasan dan sanksi, tentu yang sesuai. Semua itu dalam rangka menanamkan perasaan serius.

Memukul di sini adalah sarana yang dipergunakan karena keadaan darurat. Pukulan tidak boleh menggunakan cemeti atau kayu yang menyakitkan atau melukai. Karena justru keteladanan dari orang tua lebih baik dari pada pukulan sekeras apapun. Meski kasus di atas adalah untuk perintah shalat namun dapat pula diterapkan pada perintah puasa. Namun dalam penerapannya untuk anak berpuasa sebaiknya ditunda hingga telah benar-benar kuat karena alasan jasmaniah. Itu pula yang dilakukan oleh para sahabat terdahulu dalam mendidik anak mereka untuk berpuasa dengan bertahap mulai dari beberapa hari, beberapa minggu, hingga pada akhirnya anak mereka terbiasa melakukan puasa sebulan penuh.

Puasa tidak dikenakan pada mereka yang tidak berakal, baik pada mereka yang gila permanen, gila pada waktu-waktu tertentu, atau kehilangan kesadarannya (pingsan). Artinya lepas kewajiban terhadap mereka (taklif) selama kehilangan kesadarannya. Adapun untuk kasus pingsan ada yang berpendapat ia harus mengqadha puasanya. Namun ada juga yang berpendapat tidak perlu.

Orang yang sakit dan safar (dalam perjalanan) tidak dikenakan kewajiban berpuasa dalam kondisi apapun. Mereka diberikan toleransi hingga sembuh dari sakitnya atau kembali dari safar dengan mengqadha puasanya. Terkecuali bagi mereka yang sakit-sakitan karena tua atau tidak memiliki harapan untuk sembuh.

Puasa juga diharamkan atas wanita yang haid atau nifas. Bukan karena apa-apa tapi karena kasih sayangnya Allah dalam rangka memelihara kondisi tubuh dan syaraf seorang wanita. Namun tetap saja mereka wajib mengqadhanya. Adapun bagi mereka yang meminum obat penunda haid agar dapat berpuasa sebulan penuh, disarankan untuk meninggalkannya dan dianjurkan untuk mengikuti fitrahnya wanita salafussaleh terdahulu.

Macam-macam Uzur Berpuasa Beserta Hukumnya

Uzur yang pertama mewajibkan pemiliknya berbuka dan haram berpuasa dan harus mengqadha puasanya, misalnya wanita yang haid atau nifas. Kedua, uzur yang membolehkan pemiliknya untuk berbuka, bahkan dalam kedaan tertentu mewajibkan namun tetap mengqadha, misalnya sakit dan safar. Ketiga, uzur yang membolehkan pemiliknya untuk berbuka bahkan terkadang mewajibkannya tanpa perlu mengqadhanya namun membayar fidyah, misalnya orang tua renta dan pengidap suatu penyakit yang tidak lagi ada harapan untuk sembuh. Keempat adalah uzurnya orang yang hamil dan menyusui dann msih diperselisihkan ulama. Sedangkan yang terakhir adalah uzurnya orang yang berat melakukan puasa karena jenis pekerjaannya, misalnya pekerja tambang dan lain-lain.

Mengqadha Puasa Ramadhan

Barang siapa memiliki hutang puasa Ramadhan, baik karena sakit, musafir, haid, nifas, atau yang merasa berat melakukannya, juga perempuan hamil dan menyusui maka hendaklah ia bersegera mengqadhanya dalam rangka melepaskan diri dari tanggungannya. Masalah diqadha dengan berurutan atau berselang-seling tidak menjadi ihwal yang besar. Dilakukan berurutan lebih utama agar segera menggugurkan kewajiban dan keluar dari perselisihan pendapat.

Ketika puasa ditahun yang lalu belum di qadha namun telah datang Ramadhan berikutnya, maka hutangnya diganti setelah Ramadhan tahun itu. Ketika seseorang meninggal dunia dalam keadaan sakitnya sudah sembuh atau perjalanannya telah usai, maka ia harus mengqadha sekedar hari-hari sehat atau hari-hari ketika ia tinggal di rumah yang sempat ia nikmati. Makna “harus” di sini bahwa qadha:

1. Diqadhakan oleh walinya, dilakukan oleh wali untuk si mayit sebagai kebaikan bukan kewajiban baginya.

2. Memberi makan kepada fakir miskin untuk mayit denagn menggunakan harta yang ia tinggalkan sebagai amalan wajib sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya tanpa berpuasa.


HAL-HAL YANG DISUNAHKAN BAGI ORANG YANG BERPUASA

Adapun hal-hal yang disunnahkan selama berpuasa adalah:

1. Mendahulukan berbuka2. Mengakhirkan sahur3. Menghindar dari omong kosong dan caci maki4. Qiyamullail malam Ramadhan dan shalat tarawih5. Manfaatkan hari-hari Ramadhan untuk zikir, taat, dan berderma6. Doa sepanjang hari, khususnya saat berbuka7. Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, dan masih banyak lagi hal-hal sunnah yang dapat menambah pundi-pundi pahala orang yang berpuasa.

PUASA SUNNAH, HARAM DAN MAKRUH

Diantara puasa yang disunnahkan adalah Puasa enam hari di bulan Syawal, Puasa tanggal 9 Dzulhijjah, Puasa hari Arafah, Puasa ‘Asyura dan Tasu’a, Puasa dipertengahan bulan Qamariyah, Puasa Senin Kamis, serta Puasa Nabi Daud a.s.

Diantara puasa yang diharamkan adalah puasa di hari raya (1 Syawal, 10 Dzulhijjah), di hari tasyrik, tanggal 12 Rabiul Awal, 27 Rajab. Serta yang termasuk perkara puasa makruh adalah puasa dahr, yaitu puasa terus menerus setiap hari selain 2 hari raya dan hari tasyrik, kemudian mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa, atau mengkhususkan puasa di hari Jumat atau Sabtu.