Hakikat “Diri “ Manusia
( Ditinjau dari sudut pandang Dunia Barat dan sudut pandang Islam )
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbauran kebudayaan antar bangsa
telah mempengaruhi pola pandang atau sudut fikir umat Islam tentang
Hakikat manusia itu sendiri. Karena Islam adalah agama yang Universal
dan ajarannya dapat diterima pada setiap waktu/decade, sangat
memungkinkan terjadinya dualisme pandangan yang prinsipil. Sebagai
contoh, apabila kita bertanya pada beberapa orang tentang apa itu
jiwa?apa itu Ruh?apa itu nyawa?apa itu nafsu ? apa itu fikiran? Apa itu
nafsh ? pasti akan kita dapati banyak jawaban yang berbeda. Sebagai
bahan acuan kita coba mengambil beberapa pendapat dari para ahli yang
telah mendalami dan meneliti mengenai keterkaitan antara jiwa, ruh dan
tubuh kasar/jasad manusia itu.
A.Hakikat Manusia Menurut sudut pandang Negara Barat / Eropah.
Melengkapi
pembahasan tentang hakikat manusia yang melandasi lahirnya SQ, maka
kita akan mengemukakan pandangan Barat Pramodern dan Modern tentang
hakikat manusia. Diawali dari era Pramodern, pemikiran tentang hakikat
manusia sangat diwarnai oleh para pemikir Yunani kuno seperti Socrates,
Plato, Aristoteles. Secara umum ketiga filosof besar Yunani meyakini
bahwa manusia terdiri dari tiga entitas yaitu corpus (jisim, tubuh), animus (nafs, jiwa), dan spiritus (ruh).
Corpus kemudian ditransliterasikan menjadi corporeal
(terkadang corporal) adalah material yang terdiri atas matter (materi
mati) serta memiliki dimensi fisik. Ia merupakan satu aspek badaniah
dari manusia (body, tubuh) yang berbeda dengan spiritus (spirit atau ruh) dan animus (soul atau nafs, jiwa). [12]
Animus, dari bahasa Yunani anemos artinya sesuatu yang meniup atau sesuatu yang bernafas [13]. Plato berpendapat bahwa animus (nafs, jiwa) adalah penjelmaan wujud spiritual yang bisa mengada secara independen dari materi dan segala sesuatu yang terdefinisikan, dan ia adalah inti kedirian manusia, atau kesadaran yang nyata.
Sedangkan spiritus
—yang juga berarti ‘angin’, memiliki kesamaan arti dengan kata ruh yang
seakar kata dengan rih (Bahasa Arab) yang artinya juga angin— menunjuk
kepada sesuatu yang merupakan nafas kehidupan, kausa hidup yang dipahami
sebagai uap halus atau udara yang menghidupkan organisme. Dalam manusia
spiritus atau ruh adalah entitas/Zat yang ada dalam jisim dan nafs.
Ketiga filosof tersebut sepakat bahwa hakikat kehidupan manusia ditujukan untuk menemukan eudaimonia
—istilah yang dipakai oleh Aristoteles— yang bermakna kesejahteraan
spiritual yang vital. Socrates menggunakan istilah daimon untuk hal
tersebut yang dirujukkan sebagai suara batin yang digambarkan sebagai
ruh yang ada di cuping telinganya. Daimon tersebut yang mengingatkannya
tentang kebijakan dan kebajikan, melarangnya dari berbuat jahat. Daimon
atau eudaimonia sering digunakan bergantian dengan istilah theo, seorang dewa (malaikat).
Pencarian dan penemuan diri yang sejati,
yaitu ketika seseorang dibimbing oleh daimon-nya adalah agar manusia
menemukan arete-nya. Arete, dari bahasa Yunani berarti sesuatu yang baik
dan unggul, dalam literatur Yunani, bila diterapkan pada seseorang,
arete mengungkapkan kualitas-kualitas seperti keberanian, kegagahan, dan
kekuatan. Dalam pengertian moral ia berarti keluhuran, kemanfaatan, dan
kebaikan dalam memberikan pelayanan dan sering juga diterjemahkan
sebagai kebajikan (virtue).
Adapun
kebaikan yang didapat dari arete adalah agathon, yang dalam bahasa
Yunani berarti baik. Dalam Platonisme, ini adalah sebutan untuk bentuk
kebaikan tertinggi, gagasan puncak .
Konsep pencarian dan penemuan diri ini yang oleh Socrates diungkapkan dalam kalimat “Gnothi Se Authon” (Kenali dirimu sendiri). yaitu dapat menguasai diri sendiri, yang dijabarkan sbb:
1. Menguasai tubuh sepenuhnya, yang berarti mampu untuk menguasai perjalanan nafas dan darah,
sehingga orang tidak lekas naik darah dan tidak mudah dipermainkan oleh
urat syarafnya (nervous) yang besar faedahnya bagi kesehatan badan.
2. Menguasai perasaan,
yaitu dapat menahan rasa marah, jengkel, sedih, takut dan sebagainya,
sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga selalu tenang dan sabar, oleh
karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang
setepat-tepatnya.
3. Menguasai pikiran,
sehingga pikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak
bergelandangan semaunya sendiri dengan tidak terarah dan bertujuan, akan
tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan kesadaran
tentang soal-soal hidup yang penting.
B.Hakikat Manusia Menurut sudut pandang Islam.
Sesungguhnya
manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna dibandingkan
dengan mahluk yang lainya, termasuk diantaranya Malaikat, Jin, Iblis,
Binatang, dllnya. Tetapi kita sendiri sebagai manusia tidak tahu atau
tidak kenal akan “ diri “ kita sendiri. Untuk itu marilah kita
pelajari diri kita ini sebagai manusia, Siapa diri kita ini? Dari mana
asalnya? Mau kemana nantinya? Dan yang paling penting adalah bagaimana
kita menempuh kehidupan didunia ini supaya selamat didunia dan akhirat
nanti?
Sebenarnya manusia itu terdiri atas 3 unsur yaitu:
- Jasmani.
Terdiri dari Air, Kapur, Angin, Api dan Tanah.
- Ruh. Terbuat dari cahaya (NUR). Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani saja.
- Jiwa. (An Nafsun/rasa dan perasaan).
Ada 7 tingkatan jiwa,( 7 posisi dalam shalat, 7 ayat dalam Surah Al-Fatihah, dan 7 tingkatan pengetahuan, 7 lapis langit dan bumi, yang semuanya berjalin dengan sangat indah )
1. Al-nafs al-ammãrah : (Jiwa yang memerintah.)
Al-Quran menyebut jiwa ini, "... Sungguh, jiwa (manusia) menyuruh berbuat kejahatan ..." (QS Yusuf [12] : 53). Nafs
ini ada dalam alam indera dan dikuasai oleh berbagai hasrat dan
keinginan dunia rendah. Perjuangan dalam tahap-tahap awal Perjalanan
Spiritual adalah melawan al-nafs al-ammãrah. Al-nafs al-ammãrah adalah islam tahap pertama, serupa dengan posisi berdiri (qiyam) dalam shalat. al-nafs al-ammãrah berarti tahapan jiwa melakukan perjalanan menuju Allah.
2.Al-nafs al-lawwãmah ( Jiwa yang mencela.)
Al-Quran
menyebut jiwa ini, "Dan Aku bersumpah demi jiwa yang mencela" (QS
Al-Qiyamah [75] : 2). Jiwa ini menyadari dan mengetahui berbagai
kekurangannya. Perjalanan yang ditempuhnya adalah demi Allah. al-nafs al-lawwãmah adalah anak tangga kedua (iman) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi rukuk dalam shalat. al-nafs al-lawwãmah telah dipasang atas diri kaum sufi agung, untuk menjaga mereka dari sikap membangga-banggakan diri.
3.Al-nafs al-mulhammah :( Jiwa yang terilhami.)
Al-Quran menyebut jiwa ini, "Demi jiwa dan penyempurnaan-nya. Maka Dia
mengilhamkan kepada jiwa itu ..." (QS Al-Syams [91] : 7-8). Jiwa ini
menjauhkan manusia dari kejahatan dan mampu melihat sarana yang akan
mengantarkannya menuju Kebahagiaan. Ia melakukan perjalanan di bawah
pengawasan Allah. al-nafs al-mulhammah adalah anak tangga ketiga (ihsan) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi berdiri kedua (itidal) dalam shalat.
4.Al-nafs al-muthmainnah :( Jiwa yang tenang.)
Al-Quran
menyebut jiwa ini, "Wahai jiwa yang tenang" (QS Al-Fajr [89] : 27).
Jiwa ini tenang karena beristirahat dalam keyakinan terhadap Allah. Ia
telah dipadukan kembali dengan Ruh. al-nafs al-muthmainnah melakukan perjalanan bersama Allah. Ia adalah anak tangga ke-empat ("ilm al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan sujud (sajdah) pertama dalam shalat.
5.Al-nafs al-rãdhiyyah :(Jiwa yang ridha.)
Al-Quran menyebut jiwa ini, "Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
ridha ..." (QS Al-Fajr [89] : 28). Jiwa ini ridha dengan dirinya
sendiri karena keseimbangan harmonis dari berbagai karakter mulianya.
Jiwa ini hilang dalam Allah dan melakukan perjalanannya di dalam Allah. al-nafs al-rãdhiyyah adalah anak tangga ke-lima ("ayn al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi duduk (jalsah) pertama dalam shalat.
6.Al-nafs al-mardhiyyah :(Jiwa yang diridhai Allah.)
Al-Quran menyebut jiwa ini, " ... dan diridhai-Nya" (QS Al-Fajr [89] :
28). Jiwa ini mengalami kebingungan dalam melakukan perjalanan dari
Allah. Kebingungan disini adalah keadaan jiwa yang mengalami keadaan
yang tidak pernah dialami sebelumnya, yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata. al-nafs al-mardhiyyah adalah anak tangga ke-enam (haqq al-yaqin) dalam tangga pengetahuan, serupa dengan posisi sujud (sajdah) kedua dalam shalat.
7.al-nafs al-kãmilah :(Jiwa paripurna.)
Al-Quran menyebut jiwa ini, "Masuklah dalam golongan hamba-hambaKu dan
masuklah dalam surgaKu". (QS Al-Fajr [89] : 29-30). Inilah tahap
terakhir (ke-tujuh) dalam perkembangan jiwa menuju sang Jiwa (isbath al-yaqin), Inilah tahap Islam hakiki ketika sang hamba terus menerus melakukan perjalanan bersama Allah. al-nafs al-kãmilah serupa dengan posisi duduk (jalsah) kedua dalam shalat. al-nafs al-kãmilah dicapai dengan Rahmat Allah. (lihat al-islam, jalsah, shalah)
o Uraian mengenai tujuh gerakan dalam shalat di atas menunjukkan tujuh tahap perjalanan jiwa manusia dalam mencapai kesempurnaannya.
Agar manusia dapat menghambakan dirinya secara benar dan mampu secara
sempurna menjalankan perannya sebagai penabur rahmat bagi semesta alam,
maka Allah memberikan "kunci" bagi setiap jiwa agar dapat berhubungan
dengan-Nya secara benar, sehingga dapat menghantarkannya kepada
keselamatan dan ridha Allah. Jika setiap muslim berupaya mengerahkan
segala daya dan kemampuannya dalam menghadapkan dan membawa jiwa dan
hatinya kepada Allah, sebagaimana dalam makna-makna gerakan shalat di
atas, maka ia akan selalu melahirkan perilaku, sikap dan tutur kata yang
memancarkan sifat-sifat Kesucian, Keagungan dan Kasih Sayang Allah.... "
Alat dari pada Jiwa yaitu otak, yang terdiri atas 3 bagian juga:
- Akal (timbangan) haq atau bathil
- Pikir (hitungan) Untung rugi
- Zikir (ingatan) Ingat Allah
Jadi
kalau diibaratkan mobil maka jasmani ini adalah Body daripada mobil
sedangkan Ruh sebagai Accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang
menghidupkan saja dan Jiwa adalah sopir atau yang mengendalikan dari
pada mobilnya dimana dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dari
pada mobil itu sendiri. Jadi Disini jelaslah bahwa yang dikatakan manusia itu adalah Jiwanya dimana dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Al-Quran sebagai firman Allah SWT, mengemukakan adanya ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh)
dalam diri manusia. “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
bila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku,
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu malaikat
itu bersujud semuanya.” (QS. 38: 71-73). [7]
Dalam ayat-ayat lainnya berkenaan proses penyempurnaan jisim Al-Quran mengatakan, “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) di tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan
dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta
Yang Paling Baik.” (QS. 23: 12-14).
Dan selain ruh dan jisim, Al-Quran juga mengungkapkan tentang penciptaan nafs (jiwa) sebagai berikut: “.
. .dan nafs (jiwa) serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada nafs itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya (zakkaha), dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91: 7-10)
Maulana Rumi, dalam Fihi ma Fihi berkaitan dengan masalah ini mengatakan : “Nafs adalah satu hal, ruh hal lain. Tidakkah engkau lihat betapa nafs mengembara keluar selama jisim tertidur? Sementara ruh tetap berada di dalam jisim, nafs berkelana dan menjadi sesuatu yang lain.” [8]
Jalaluddin Rahmat, dalam Pengantar Terjemahan buku Perfect Man karya M. Muthahhari, 1993, mengemukakan:
“Seperti
alam semesta, manusia selalu berubah. Bahkan, mengikut Ibn Al-’Arabi,
manusia adalah mikrokosmos yang menggabungkan semua alam dalam
makrokosmos. Manusia adalah ‘alam shaghir/alam kecil; dan alam semesta
adalah insan kabir/alam besar. Pada makrokosmos terdapat tiga tingkatan
alam: ruhani, khayali, dan jasmani. Pada manusia, ketiga alam ini
diwakili oleh ruh, nafs (jiwa), dan jism (tubuh). Tingkatan alam ini
menunjukkan sejauh mana ia menyerap cahaya Tuhan.
Ruh adalah bagian yang paling terang, dan jism adalah bagian yang paling gelap. Nafs (jiwa) adalah jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs yang berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat jauh dari ruh. Pada sebagian orang, nafs-nya bersinar dan bergerak naik menuju wujud yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi, nafs-nya sangat gelap dan bergerak turun menjauhi Tuhan, tertuju 100 % pada ‘dunia ( Harta, Jabatan, Wanita, Egoisme diri )’. Nafs adalah barzakh yang selalu berubah.”
Abdurrazzaq Kasyani, seorang pengulas Fushush Al-Hikam yang sangat masyhur, ketika mengomentari QS. 13: 3, menghubungkan bumi dengan jisim, ruh sebagai langit, dan nafs sebagai perantara di antara keduanya.
Dalam diri manusia ketiga dunia tersebut dilengkapi dengan perangkatnya masing-masing. Pada jisim, Allah melengkapinya dengan panca indera lahir (mata, telinga, hidung, kulit, pengecap rasa), juga otak (brain) dan rasa/emosi yang tidak nampak secara lahiriah.
Nafs,—wujud
yang hanya dapat dikenali dan disaksikan oleh ‘kemampuan tertentu’
manusia— juga dilengkapi dengan indera-indera batin seperti jisim.
Khusus untuk akal nafs ini Al-Quran menggunakan istilah al-bab (bentuk jamak dari lubb), ulil al-bab, orang yang yang lubb-nya telah aktif. [11]
Mengenai ‘aql (atau lubb)
Al-Ghazali menguraikan pengertiannya yang bersekutu, yaitu, pertama,
‘aql yang diartikan sebagai “pengetahuan hakikat” segala sesuatu, dan,
tentu saja, bertempat di qalb, dan, kedua, ‘aql dalam arti lathifah yang
mampu mencerap hakikat segala sesuatu. Dari uraian mengenai dua hal di
atas tampaklah bahwa yang menjadi objeknya adalah hakikat, dan yang
dimaksud bukanlah akal empiris (otak), namun akal atas yang disebut ‘aql
atau lubb (orang yang memilikinya disebut sebagai ulil ‘albaab). Akal
itu seperti bola yang seluruh permukaannya menghadap ke segala arah dan
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akal bawah (pikiran, otak dan ego), fu’ad (aspek dari akal atas) dan akal atas
Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu
terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan
proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung
dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang
pengetahuan dari Tuhan yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan)
pengetahuan sang diri manusia tentang nafsnya. Sementara kata faqad
tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan
sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa
Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan
manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra
Dia, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan Dia, maka diri
manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan
kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam.29
Bila
dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam
proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds ini
baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai
ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Ruh Al-Quds yang merupakan
“utusan-Nya
di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di
dunia ini (lihat QS Asy-Syuura [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya
yang mana terdapat kalimah ruuh dan ‘amr). Ruh Al-Quds merupakan juru
nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan
ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang
berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga
disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si
nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma),
di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinahdalam bahasa
Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan
(al-fath) ‘amr.”
Karena
itulah kehadiran Ruh Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih yang
membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh
mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak
Tuhan. Ruh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu
adalah diri Al-Mu‘miniin. Ruh Al-Quds berbeda dengan nafakh ruh atau
nyawa, karena Ruh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh.
Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh
maupun aradh. Ruh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu
yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman
pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs,
kehadiran Ruh Al-Quds ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman,
dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan jiwa
(an-nafs) hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja.
Entitas Ruh Al-Quds ini disebut dengan Ruh ‘Amr dalam terminologi
Al-Ghazali, dan disebut sebagai Intelek Aktif dalam terminologi Mulla
Shadra.31
Status spirit (ruh)
yang samar dalam struktur manusia membawa dampak penyempitan bahkan
penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh Al-Quds merupakan
oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang tinggal di inti jiwa (nafs, soul ), al-insaanu sirriy wa Anaa sirruhu (Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang berdampak menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan dalam mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah
nyawa dalam literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma
(ruh), dan kata arwah (ruh-ruh) sering secara keliru dimaknai sebagai
nafs (jiwa) yang akan diadili di alam Barzakh. Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang nafasnya merupakan al-kimiya
(alkemis) yang menghidupkan jasad insan, suatu entitas yang pada
prinsipnya sama dengan entitas yang menghidupkan tubuh seekor kambing
atau burung tanah Isa Al-Masih a.s. Sementara istilah jiwa sering
menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala psikis. Struktur Insan
seperti diuraikan di atas banyak diungkapkan dalam Al-Quran baik secara
eksplisit maupun implisit.
Adapun penjelasan yang dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35:
“Allah
cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah
misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di
dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh
(minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya
saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas
cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”