Ada banyak sekali, manfaat lapar yang dirangkum rapi oleh al-Habib ‘Umar, yaitu sebagai berikut:
Pertama,
lapar bisa membersihkan
hati, menyalakan bakat, dan menghidupkan mata batin. Asy-Syibli
mengatakan, “Setiap kali aku lapar karena Allah, aku senantiasa melihat
di dalam hatiku ada sebuah pintu hikmah dan ibrah yang terbuka, yang
sebelumnya belum pernah kulihat.”
Kedua,
lapar melembutkan hati
dan menjernihkannya. Hati yang lembut dan jernih akan membawa pada
kenikmatan beribadah dan tersentuh oleh dzikir. Al-Junaid rahimahullah
mengatakan, “Ada seseorang yang menempatkan kantong berisi makanan di
dadanya, kemudian dia ingin mendapatkan manisnya munajat. Bagaimana
mungkin?”
Ketiga,
lapar melahirkan
ketundukan dan melenyapkan kedurhakaan. Seseorang tidak bisa melihat
keagungan dan kemahakuasaan Tuhan selama belum pernah menyaksikan
kehinaan dan kelemahannya sendiri.
Keempat,
lapar mengingatkan pada cobaan dan adzab Allah. Orang yang kenyang biasanya melupakan orang yang lapar. Nabi Isa ‘alaihissalam pernah
ditanya, “Mengapa engkau lapar, padahal di tanganmu terdapat
perbendaharaan bumi?” Ia menjawab, “Aku takut kenyang sehingga lupa
kepada orang yang lapar.” Jadi, lapar bisa melahirkan sifat welas,
dermawan, dan iba kepada sesama makhluk Allah.
Kelima,
lapar bisa mematahkan nafsu untuk berbuat maksiat dan menundukkan nafsu penyeru kepada keburukan (ammarah bis-su’). ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Bid’ah pertama yang terjadi sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kenyang.” Dzun Nun mengatakan, “Setiap kali aku kenyang, aku senantiasa
bermaksiat atau mempunyai niat untuk melakukannya.”
Keenam,
lapar bisa menahan kantuk dan memudahkan untuk beribadah malam.
Ketujuh,
lapar memudahkan
seseorang untuk tekun beribadah. Dengan menahan lapar, seseorang tidak
akan disibukkan oleh urusan jual-beli makanan, memasak, dan bolah-balik
ke kamar mandi. Sari as-Saqathi mengatakan, “Aku melihat Ali al-Jurjani
mempunyai sawiq (bubur dari tepung gandum) dan ia memakannya
tanpa kuah. Lalu kutanyakan kepadanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan
ini?’ Ali menjawab, ‘Antara mengunyah roti dan menyantap sawiq ada selisih waktu sebanyak 70 bacaan tasbih. Aku sendiri sudah 40 tahun tidak mengonsumsi roti.’” MasyaAllah, lihatlah bagaimana beliau mengatur waktunya agar waktu ibadahnya tidak berkurang hanya karena mengunyah roti.
Kedelapan,
lapar bisa menyehatkan badan dan mencegah datangnya penyakit, karena lambung adalah habitat bagi berbagai penyakit.
Kesembilan,
sedikit makan meringankan biaya hidup. Betul begitu, wahai para penerima beasiswa?
Kesepuluh,
sedikit makan
memungkinkan seseorang untuk menyedekahkan kelebihan makanan sehingga
pada Hari Kiamat nanti ia akan dinaungi oleh sedekahnya.
Lalu, Bagaimana caranya mengekang nafsu makan?
Beberapa nasihat untuk para murid (orang yang menempuh jalan menuju Allah) dan penuntut ilmu (kita nih) terkait dengan perut, dan bagaimana caranya mengekang nafsu makan.
Nasihat pertama,
hendaknya kita
mengonsumsi makanan yang halal. Beribadah dengan mengonsumsi makanan
yang haram sama seperti mendirikan bangunan di atas gelombang air laut.
Nasihat kedua,
hendaknya kita
menyedikitkan porsi makan dan berlatih secara bertahap untuk mengurangi
porsi makan. Ada beberapa tingkatan dalam hal ini. Tingkatan pertama yaitu
tingkatan tertinggi, mengembalikan porsi makan sesuai yang seharusnya,
yaitu sekadar untuk menyangga badan. Ini adalah tingkatan orang-orang shadiqin (orang-orang yang keimannya tidak diragukan lagi). Tingkatan kedua, yaitu mengurangi porsi makan menjadi setengah mudd, atau sekitar satu potong roti dan secuil. Umar radhiyallahu ‘anhu biasa makan dengan porsi tujuh atau sembilan suapan. Tingkatan ketiga, mengurangi porsi makan menjadi satu mudd, yaitu kira-kira dua potong roti dan setengahnya. Tingkatan keempat, mengembalikan porsi makan menjadi lebih dari satu mudd hingga satu mann. Satu mann kira-kira setara dengan 2 pound atau 907 gram. Ada pula tingkatan kelima,
yang tidak jelas porsinya, dan karenanya sering disalahartikan. Yaitu
hendaknya kita makan jika sudah benar-benar merasa lapar, dan segera
berhenti ketika kita sudah merasa tidak lapar. Dan tanda bahwa kita
benar-benar lapar adalah bilamana kita tetap makan walaupun tidak ada
lauk.
Nasihat ketiga,
terkait dengan
waktu makan dan lamanya penundaan. Orang-orang pada tingkatan tertinggi
bisa menahan lapar hingga tiga hari atau bahkan lebih. Orang-orang pada
tingkatan kedua bisa menahan lapar selama dua hingga tiga hari. Adapun
mereka yang berada pada tingkat ketiga hanya makan sekali dalam sehari.
Waduh, Kita tingkatan berapa dong? Wkwkwk. T_______T
Nasihat keempat,
terkait dengan jenis
makanan dan lauknya. Makanan yang paling baik adalah (yang terbuat dari)
sari gandum (kalau di Indonesia mungkin beras yang paling mahal); yang
sedang adalah (yang terbuat dari) sya’ir (kalau ini beras kualitas menengah); dan yang paling rendah adalah (yang terbuat dari) sya’ir
yang masih kasar (yang ini mungkin beras sembako, yang paling murah
harganya). Jenis lauk yang paling baik adalah daging dan manisan (dari
samin dan madu); yang paling rendah adalah garam dan cuka; dan yang
sedang adalah lemak (hewani atau nabati) tanpa daging.
Siapa yang senantiasa mengonsumsi jenis
makanan dan lauk yang paling baik, berarti jiwanya terbiasa dengan
kenikmatan, sehingga ia menyukai kelezatan dunia dan berusaha
mendapatkannya, lalu hal itu menyeretnya pada kemaksiatan.
Ketahuilah,
salah satu ibadah yang paling utama adalah melawan hawa nafsu dan
meninggalkan kenikmatan.
Wallahu a’lam, meskipun kopas,
setidaknya ada nasihat dan ilmu yang akhirnya kita tahu.Semoga Allah
memberi kita semuasehat sehingga bisa mengamalkannya dan istiqomah. Nas’alullaha al-‘afiyah wa al-istiqomah. Aamiin. :)
Dikutip dari:
al-Habib ‘Umar bin Hafizh, “Amal Pemusnah Kebaikan”, Noura Books, Jakarta, 2013.