Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat
Saya
pernah menulis tentang dukungan para ulama besar Fiqih pendiri 4 mazhab
besar dan juga pendapat ulama besar zaman sekarang seperti Syekh Yusuf
Al-Qardawi dalam dua tulisan yaitu Kesaksian Ulama Fiqih Tentang Tasawuf dan khusus pendapat Syekh Yusuf Qardawi terhadap tasawuf bisa di baca di Fatwa Al-Qardawi Tentang Tasawuf. Berikut adalah tulisan yang saya kutip sebuah komentar dari blog MutiaraZuhud
tentang kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat yang menjadi sumber
ajaran tasawuf untuk meyakinkan kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah
benar-benar ajaran Rasulullah SAW.
Benih-benih
tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini
dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan
perilaku nabi Muhammad SAW.
Peristiwa
dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari
beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan
Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan
diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam
melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT
tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW
telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi
ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi
dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali,
dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang
kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi
Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan
alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi
Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT.
Keadaan demikian
merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Perikehidupan
(sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu
pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona
dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).
“Pada
suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar
as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini
diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .
Ibadah
Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf.
Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat
dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW
mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang
dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara
tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin
Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan
salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang
terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih
terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi
hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).
Dalam
hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak
seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan
iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.
Akhlak
Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak
ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia,
tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT
yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al
Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau
menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku
nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.
Dalam
diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah
lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak
angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha
melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah
berputus asa dalam berusaha.
Oleh
karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin,
termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut nama Allah.”.
Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sumber
lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para
sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan
budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan
rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para
sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.
Kehidupan
para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai
murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka
senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu
perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan
Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW.
Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip
dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka
menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW.
Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang
terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal
didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).
Abu
Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang
ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan
para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para
sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai
dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh,
baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin
dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah
SWT.”
Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
Abu Bakar as-Siddiq.
Pada
mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam,
ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk,
Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia
memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama
menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh
harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW
bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia
menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan
bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan
lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW
bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa
anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena
menghibur lapar.”
Diceritakan
pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika
seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya
sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih
takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan ibadah dan zikir.
Umar bin Khattab
Umar
bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan
kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan
kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan
kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat
sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas
sobekan.
Diceritakan,
Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain
dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena
pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya
kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa
sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian
anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal
(Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan
dibayar dengan jalan memotong gajinya.
Pegawai
Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah
Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan
terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat
kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena
tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.
Disebutkan
dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya
beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang
banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu
malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan
wajahnya kepada Allah SWT.
Usman bin Affan
Usman
bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah
seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT),
banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan
memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang
Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman
memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan
pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum
muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh
diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa
pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang
mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka.
Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut
nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak
seribu ekor unta.
Tentang
ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca
Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang
membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan
memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya,
bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur
darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada
ditangannya.
Ali bin Abi Talib
Ali
bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia
kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka
Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus
tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi,
mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya,
secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti
firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi
Kami.” (QS.Al Kahfi:65).
Kezuhudan
dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia
tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang
menambal pakiannya yang robek.
Suatu
waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang
menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin
(Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang
halal, kenapa saya harus malu?”.
Abu
Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para
sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki
keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung,
isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan
ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur,
dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.
Kehidupan
Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan
para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid
Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang
akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl
as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi,
Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim
al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl
as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang
artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi,
terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum
miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta
benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung
disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT.
Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak
digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.
Diantara
Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini
memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin
Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang
Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain
senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum
diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar
uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.
Adapun
Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang
bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir
sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya
milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia
diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada
para fakir miskin.
Begitu
juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat
sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli
Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada
Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan
tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua
sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang
merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan
kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi
Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga
kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada
kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah
khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah
Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu
Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.