Wali Pitue Masyarakat Sulawesi Selatan Siapakah dia ?
Syeck Yusuf (Toanta Salamaka), Petta Lasinrang (Petta Lolo), Arung
Palakka (Petta to malampe gemmena), KH. Harun, Pettabarang, Imam Lapeo,
Dt. Sangkala
Syech Yusuf (toanta Salamaka)
Seorang Penyebar agama islam dari tanah
mekkah sampai Banten, Petta Lasinrang Seorang Raja dari Tanah Pinrang
yang arif nan bijak sana dan gencar menyebarkan agama islam. yang
terpenting Beliau Pemberani, Arung Palakka Seorang Raja Bone yang bisa
membebaskan Masyarakat bone dari penindasan oleh kerajaan Gowa dan
beliau di Juluki Sang Pembebas, KH. Harun : informasi yang saya dapat
beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang atau petta To risappae
konon beliau mallajang diatas kudanya dan penunggu kudanya hingga
sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja barru yang kuat akan
agama, Imam Lapeo : seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan
menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis. sering memperlihatkan
mukzisat dari sang Kuasa, Dt. Sangkala : Infonya belum jelas
>>> mungkin saya bisa dibantuMohon Tambahan dan masukkannya
sapa tau ada yang salah Semoga Bermanfaat.
Merekalah ke tujuh wali yang diyakini oleh Masyarakat sulwesi selatan.
Selain itu terdapat beberapa wali lagi yang di yakini oleh masyarakat
indonesia yakni Wali songo, dan Wali Pitu yang berada di Bali. Wali pitu
di bali ini juga saya baru dengar informasinya saya dapat pada
internet. Terus siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden
Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf
Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar
Al Khamid di Klungkung, Chabib Ali Zaebal Abidin Al Idrus di Karangasem,
Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di
Buleleng, dan Chabib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.
Wali Pitue Di Sul-Sel.
SYEIKH YUSUF
Syeikh Yusuf Makasar pembela dan penjunjung kebenaran - Syahdan, di
Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H,
muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga
Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka
pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar
biasa yang terlihat di Gowa. Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang
mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah
yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu
menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur
sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin
Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf. Syekh Yusuf,
menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan
Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat
itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang
tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada
dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih
bercampur-baur.
Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya,
karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi
Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan
ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu
dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya
Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh
Yusuf bernama Abdullah.
Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah
diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah
Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari
Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia
diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak
pernah mendapat gelar kebangsawanan.''
Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan
Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu,
mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah
Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan
tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar
perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang
guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan
untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh
Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.
Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman
mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat
Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia
meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu
dari Somba Opu.
Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di
tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama,
ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera
mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya
menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama
kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan
berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah
saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan
antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin
Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam
risalah Safinat an-Naja.
Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini
menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf
akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang
dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul
Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai
mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.
Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah
dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah,
ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi
al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah.
Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun
mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati
al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan
mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi
seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung
halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis
dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng
menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan,
maksiat dan kemungkaran merajalela.
Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali
Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664,
Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar
Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh
tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran
ilmunya.
Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang
menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam
dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran
tasawuf ditulisnya di Banten.
Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang
kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni
Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah.
Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan
Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta
Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.
Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya.
Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk
1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang
gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat
Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang
begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga
kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru
itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam.
Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia
pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang
tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di
negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan
sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu,
ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan
menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu
besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.
Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda
membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi
Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan.
Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan
ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.
Ulama Besar dengan Enam Makam
Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk
berdakwah. Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah
berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih
dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran
Islam di negara itu.
Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut.
Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian,
syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke
Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini,
di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73
tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar.
Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai
'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo
Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh
Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional pada 1995.
Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel
dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'.
Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan
peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan
menghormati Tuan Guru.
Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah
diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk
kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf
yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan
Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh
Yusuf beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah
disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat
mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini
berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango,
Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para
peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan
keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur
Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf
justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah.
Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin
Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.
Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti
menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di
tempat-tempat sepi.
Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang
dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh
Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri
as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.
Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran
tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya
peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir
al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang
berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.
Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah
untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya,
penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan,
dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.
Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara
bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan
tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan
yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir
atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu
masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
PETTA LASINRANG
Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto,
diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang.
Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma
Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang
terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya
bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak
lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya
ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu
sussang).Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan
dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang
mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker
kerajaan. Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup
berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang
sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.Diwaktu kecil La
Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo,
maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang
berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung
ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “
(ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian
dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah,
sehingga La Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga
dapat diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin
popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.
Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan
“Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari
Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang
semakin tertarik dengan Permian tersebut.
La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia
memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya
Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga
merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.
La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani,
terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang
kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai
dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan
dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng,
Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto
untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti
bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian,
dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik
keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya
La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan
ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena
membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na
Arungpone.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo
Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti
diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka
La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima
perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto,
senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya
besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi
nama “ JalloE”
RAJA BONE KE-15 (ARUNG PALAKKA)
La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)
Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka
digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung
Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE. La Tenri Tatta To Unru
adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang
bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri
Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya
La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang
mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap
sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena
pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri
Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga
dinamakan MatinroE ri Bantaeng. Ketika La Tenri Tatta To Unru baru
berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang
dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan
ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan
Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta
Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil
yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan
disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri
Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate
SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di
SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk
ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru
selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta
biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu
(pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam
perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan,
termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru
memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari
tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal
dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng
Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap
orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu
Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk
dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai
penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun
seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau
mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak
membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan
sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi
oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai
pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu
makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus
dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang
anak bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat
orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru
menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat
benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh
mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka
diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti
perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan
tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La
Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan
tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo,
terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang
kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang
pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena
disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh
pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa,
dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan
penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle
tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan
menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh
banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya
pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki
ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia
setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi
tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi
jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat
penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo,
Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu
memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya
suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan
orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat
dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk
kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan
yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung
Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya
sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi.
Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh
pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan
tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan
dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang
Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain
adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang
Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan
kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang
Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama
Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk
dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang
bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya
perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak
pengorbanan. Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang
sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya.
Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru
bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan
Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama
pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa
kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa
betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan
tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa
terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan
selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap
La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri
Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape
Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di
Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala,
sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di
Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri
Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit
untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung
Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah
Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung
Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama
melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat
La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai
Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang
Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama
pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada
KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya
ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada
Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng
untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To
Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu
membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta
Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke
Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka
diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat
dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata,
”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang
akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan
denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya
orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu
disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena
kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat
menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah
bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La
Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum
dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi.
Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE
Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung
Palakka bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh
karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi
dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud
untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung
selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau
akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk
mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu
naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru
bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak
berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To
Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan
KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan
seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh
pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa
memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di
tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi
baru dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan
untuk menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La
Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah
Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan
dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan
Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu
Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang
untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada
di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan
persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu
kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu
berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan
selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan
Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada
KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang
bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone
sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas
dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng
untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi
melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni
Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan
di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan,
dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula
sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng
bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin
oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta
To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di
Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na
memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu
La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta
berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La
Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone
dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu
pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham
dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang
orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk
mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling
bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan
diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu,
utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman
mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal
dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja
dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari
pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita
berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan
untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut
diambil.
Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto
Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah
ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan
Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas
kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila
menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta
beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung
dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni
Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke
sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai,
barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal
untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone
dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan
Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada
La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone
dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata
untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan
persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah
pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir
yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak
kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung
Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan
semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa.
Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE
ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah
terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam
dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam
dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik
menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan
korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21
November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya
itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya.
Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis
Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin
dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan
Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama
pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone
La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya
melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri
Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah
dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone,
namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai
daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena
itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di
Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena
orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia
meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi
keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu
padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar
sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai
ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang
melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus
melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada
Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi
Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung
di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah
Arung Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan
Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum
mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai
menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara
KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo
dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk
kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo,
disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone,
Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo
kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To
Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan
demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan
senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan
selama tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah
itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu
menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang
baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan
Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke
Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam.
Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung
Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo
La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama
dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La
Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE
Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik
perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi
Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE
Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng
MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng
Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE
Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na
mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak
meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah,
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali
kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh
macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara
(belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara
takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar
(bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada
pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan
nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka
setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya,
kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya
selesai, La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400
ekor kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu
hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh
emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan
Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri
takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina
Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya
ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua
negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka
melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE
La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La
PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung
Palakka Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya,
sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone.
La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa
anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra
mahkota).
Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M.
sepakatlah anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone
serta Pembesar Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung
Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin
dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE
ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun
dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang
kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara
perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang
diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta
pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin
dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa.
Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We
Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng
Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta
untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk
pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La
Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa
dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan
juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut
mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To
RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah
passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE.
Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan
saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah
harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab
saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki
keturunan.
Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari
Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan
kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta
bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng
Talele”.
La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku
Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak
sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa
sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan
kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan
orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila
orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan
dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya
sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri
riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami
semua daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa –
menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka
sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali
kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu
dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri
Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong
yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng (daerah
sahabat).
Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas
dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari
seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat
payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni
Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda
kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta
Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu
Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia
mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak
yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La
Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo
Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We
Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng
TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone
dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran,
begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna
Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang.
Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar
dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng
Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa
yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung.
Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone
menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat
dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki,
maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena
itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa
yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain,
walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya
ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali
kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri
pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi
Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra
mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng
Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang
Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa),
diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada
saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro
dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah
memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng
Bone, seperti TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga,
LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa,
Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan
putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta
To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian
We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun
dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna),
apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara
turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE
ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke
Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini
disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah
Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu
satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu.
Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La
Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah
yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La
Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete.
Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario
Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE
MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M.
ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE
ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan
Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan
Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
sumber;
http://syariathati.blogspot.co.id/2013_07_21_archive.html
Popular Posts
Blogroll
Blogger templates
(QS. Al-Isra: 19)
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra: 19)
Featured Post
Surat-surat yang Dibaca dalam Sholat Fardhu
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatny...
Blog Archive
-
▼
2016
(78)
-
▼
March
(38)
- LISTRIK DALAM TUBUH MANUSIA DAN TENAGA DALAM
- BACAAN DZIKIR YANG SESAT DAN MENYESATKAN
- CARA MENDETEKSI GANGGUAN JIN PADA DIRI SENDIRI
- AKTIVITAS BERDZIKIR DI DALAM HATI
- Kekuatan Fikiran (TELEPATI)
- RENUNGAN N KISAH INSPIRATIF (Akibat Terlalu Cinta ...
- Keajaiban Daya Spiritual
- HAKIKAT RUH PENDAMPING
- DZIKIR ASMAUL HUSNA
- RISALAH BERJUMPA RASULULLAH SAW
- ROH LEBIH BERKUASA DARIPADA JASAD
- SEGITIGA BERMUDA
- Rahasia Ilmu Laduni
- Ilmu Kesempurnaan Menggapai Kesadaran Ruh
- Riwayat 7 Wali Makasar, Sulawesi Selatan
- Memahami Ilmu Hitam & Ilmu Putih
- Doa Maha Rizki
- Kisah Syaikh Abdul Qadir Jailani
- Memahami Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syaikh S...
- Hierarki (Tingkatan/maqom) Kewaliaan
- Apakah Takdir Bisa diubah dengan Doa?
- Rahasia Ilmu Ghaib
- Ilmu Mendatangkan Rezeki
- Tenaga Manusia Murni
- Rahasia Ilmu Laduni
- MENYATU DAN MANUNGGAL DENGAN ALLAH
- KUNCI PEMBUKA PINTU ILMU HIKMAH
- Dunia Pangkal Dari Semua Dosa
- Mukjizat Lapar
- Hanya Wali yang kenal dengan Wali
- Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat
- Kisah Imam Al-Ghazali Berguru Kepada Tukang Sol Se...
- Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat itu SATU
- Ketika Perut Rasulullah Berbunyi
- Ternyata ini Rahasia Makan ketika Lapar sekali dan...
- Lapar dikalangan Sufi
- Manfaat lapar
- Pintu-Pintu Setan & Kail itu Bernama “Kenyang”
-
▼
March
(38)